BAB II
PEMBAHASAN
Dalam abad 20 muncul banyak aliran filsafat dan banyak merupakan penerus
filsafat-filsafat abad modern seperti neo-tomisme,neo-hegelianisme, neo-marxisme,
neo-positivisme, dan lain-lain. Ada yang
baru dengan corak yang amat berbeda seperti, Fenomenologi, Eksistensialisme,
Pragmatisme, Strukturalisme dan Postmodernisme. Tokoh utama dan pendiri
Fenomenologi adalah Edmund Husserl (1895-1938). Ini adalah ilmu tentang
apa yang tampak atau menampakkan diri kepada kesadaran manusia. Sebelum itu (sejak Descartes) kesadaran selalu
tertutup. Orang mengenal diri dan dengan itu mengenal realitas. Padahal menurut
Husserl kesadaran selalu intensional yang berarti selalu terarah kepada
realitas.
Eksistensialisme dan fenomenologi merupakan dua gerakan yang berhubungan
sangat erat yang menentang metode dan pandangan-pandangan filsafat Barat.
Istilah eksistensialisme tidak menunjuk suatu sistem filsafat secara khusus.
Ada perbedaan-perbedaan besar antara para pengikut aliran ini, tetapi terdapat
tema-tema yang sama pada para penganutnya sebagai ciri khas filsafat ini,
antara lain:
1. Protes
terhadap rasionalisme dan idealisme Hegel (masyarakat modern)
2. Protes
terhadap konsep-konsep filsafat akademis yang jauh dari konkret (atas nama individualisme)
3. Protes
terhadap alam yang impersonal dari zaman industri modern dan teknologi dan
gerakan masa.
4. Menekankan
situasi manusia dan harapan manusia di dunia.
5. Keunikan
dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.[1]
1.
Pengertian fenomenologi.
Kata
fenomena berasal dari kata Yunani “fenomenon”, yaitu sesuatu
yang tampak, yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa Indonesia biasa
dipakai istilah gejala. Jadi fenomena adalah suatu aliran yang membicarakan fenomenon atau
segala sesuatu yang menampakkan diri.[2]
Secara harfiah, fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran
atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan
kebenaran. Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran. Fenomenologi
merupakan sebuah aliran. Yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk
mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena
atau pertemuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri
kita akan merangsang alat inderawi yang kemudian diterima oleh akal ( otak )
dalam bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran.
Penalaran inilah yang dapat membuat manusia mampu berpikir secara kritis.
Fenomenologi
merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek
di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan,
maka hermeneutik terlibat di dalamnya. Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi
mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan
pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita
lihat, rasa, dengar oleh alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu
pengetahuan tentang kesadaran murni yang dialami manusia.
Dari beberapa
pengertian di atas, maka dapat difahami bahwa fenomenologi berarti ilmu tentang
fenomenon-fenomenon apa saja yang nampak. Sebuah pendekatan filsafat yang
berpusat pada analisi terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran
kita.
Dalam kerja penelitiannya, fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu:
filsafat, sejarah, dan pada pengertian yang lebih luas. Dengan demikian
“fenomenologi agama” dalam acuan yang pertama menghubungkan dirinya sebagai salah satu disiplin
ilmu. Adapun acuan yang kedua memasukkan pendapat
tentang sejarah agama.
Dengan sendirinya mereka mempergunakan religi sederhana
sebagai data, dan meletakkan ekspresi keagamaan dalam bentuk simbol seperti
bentuk-bentuk upacara keagamaan sebagai fokus perhatiannya. Acuan ketiga adalah
penerapan metode fenomenologi secara lebih luas. Metode ini biasa diterapkan
dalam menelaah atau meneliti ajaran-ajaran, kegiatan-kegiatan, lembaga-lembaga,
tradisi-tradisi, dan simbol-simbol keagamaan.[3]
A. Tokoh-tokoh filsafat fenomenologi.
1.
Edmund Husserl (1859-1938)
Menurut Husserl, memahami fenomenologi sebagai suatu metode dan ajaran
filsafat. Sebagai metode, Husserl membentangkan langkah-langkah yang harus
diambil agar sampai pada fenomeno yang murni. Untuk melakukan itu, harus
dimulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali
pada kesadaran murni. Sedangkan sebagai filsafat, fenomenologi memberikan
pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang ada. Dengan kata lain,
fenomenologi harus dikembalikan kembali objek tersebut.
Metode fenomenologi menurut Husserl,
menekankan satu hal penting yaitu, penundaan keputusan. Penundaan keputusan
harus ditunda (epoche) atau dikurung (bracketing) untuk memahami
fenomena. Pengetahuan yang kita miliki tentang fenomena itu harus kita
tinggalkan atau lepaskan dulu, agar fenomena itu dapat menampakkan dirinya
sendiri.
Untuk memahami filsafat Husserl ada beberapa kata kunci yang perlu
diketahui. Diantaranya:
1.
Fenomena adalah realitas esensi atau
dalam fenomena terkandung pula nomena(sesuatu yang berada di balik
fenomena)
2.
Pengamatan adalah aktivitas
spiritual atau rohani.
3.
Kesadaran adalah sesuatu yang
intensional (terbuka da terarah pada subjek
4.
Substansi adalah kongkret yang
menggambarkan isi dan stuktur kenyataan dan sekaligus bisa terjangkau.
Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu harus melalui reduksi atau
penyaringan yang terdiri dari :
1.
Reduksi fenomenologi, yaitu harus
menyaring pengalaman-pengalaman dengan maksud mendapat fenomena dalam wujud
semurni-murninya. Dalam artian bahwa, kita harus melepaskan benda-benda itu
dari pandangan agama, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan ideologi.
2.
Reduksi eidetis, yaitu dengan
menyaring atau penempatan dalam tanda kurung sebagai hal yang bukan eidos atau
intisari atau hakikat gejala atau fenomena.
3.
Reduksi transcendental, yaitu dalam
penerapannya berdasarkan subjeknya sendiri perbuatannya dan kesadaran yang
murni.
Namun, menurut para pengikut
fenomenologi suatu fenomena tidak selalu harus dapat diamati dengan indera.
Sebab, fenomena dapat juga dilihat atau ditilik secara ruhani tanpa melewati
indera, fenomena tidak perlu suatu peristiwa. [4]
2.
Max Scheller (1874-1928)
Scheller berpendapat bahwa metode fenomenologi sama dengan cara tertentu
untuk memandang realitas. Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung
dengan realitas berdasarkan intuisi (pengalaman fenomenologi).
Menurutnya ada 3 fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman
filsafat. Diantaranya:
1.
Fakta natural, yaitu berdasarkan
pengalaman inderawi yang menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman
biasa.
2.
Fakta ilmiah, yaitu yang mulai
melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin abstrak.
3.
Fakta fenomenologis, merupakan isi
intuitif yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung.
4.
Martin Heidegger (1889-1976)
Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya.
Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di luar dirinya
karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan
atau pembicaraan.
Bagi heidegger untuk mencapai manusia utuh maka manusia harus
merealisasikan segala potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak
mampu merealisasikannya. Ia tetap sekuat tenaga tidak pantang menyerah dan
selalu bertanggungjawab atas potensi yang belum teraktualisasikan.
Dalam persfektif yang lain mengenai
sesosok Heidegger menjadi salah satu filsafat yang fenomenal yaitu bahwa ia
mengemukakan tentang konsep suasana hati (mood). Seperti yang kita
ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan dalam
pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Biasanya, dengan posisi kita
yang sedang bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa mengenali diri
kita yang sesungguhnya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak ukur untuk
mengetahui hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan yang muncul seperti
pencarian jati diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan apa
kekurangan atau kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan kita yang
selanjutnya dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang menguatkan
pendapat banyak orang mengenai sesosok orang yang mampu melihat noumena dan phenoumena.[5]
1.
Maurice Merlean-ponty (1908-1961)
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar harus
memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang
realitas, dengan begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu :
Pertama hanya
meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang
tentang realita, dan Kedua hanya memperhatikan segi-segi luar
dari pengalaman tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat
mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang
dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi,
yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial tentang
sesuatu alam di atas kesadaran.
Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak
hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya,
kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean-Porty menegaskan
sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real
B. Pengaruh Husserl pada Martin Heidegger dan Jean Paul Sartre
Pengaruh Husserl pada Heidegger dan Sartre, tampaknya bukan hanya pada
penggunaan metodenya, tetapi juga pada konsepsinya tentang struktur kesadaran (intensionalitas)
dan Lebenswelt. Baik Heidegger maupun Sartre, secara terbuka mengakui pengaruh
yang sangat kuat dari fenomenologi Husserl pada metode dan filsafat mereka.
Namun demikian, kedua filusuf ini tidak menerima secara mentah gagasan Husserl
tentang fenomenologi, karena mereka pun dengan gemilang memodifikasinya
berdasarkan pada pemikiran teoretis dan kebutuhan praktis mereka. Mereka berdua
mengeritik “idealisme” yang melekat pada fenomenologi Husserl dan
mengembalikannya ke tujuan Husserl yang semula, yakni “kembali kepada
realitas sendiri”, yang terdapat pada “objek”, bukan pada “subjek”.
Dengan perkataan lain, oleh Heidegger fenomenologi dibuat “realistik”
dan diarahkan bukan untuk meneliti struktur kesadaran transendental, melainkan
untuk meneliti “makna Ada” melalui “adanya manusia” (Dasein).
Ia menyebut fenomenologinya sebagai fenomenologi hermeneutik dan sering juga
menyebutkan Analisa Eksistensial, sedangkan objek pengamatannya adalah manusia
yang hidup dalam dunianya (in-der-welt-Sein). Sartre, mengikuti
Heidegger, membuat fenomenologi husserl menjadi “realistik” juga, dan
fenomenologinya digunakan untuk menelaah struktur kesadaran manusia dalam
kaitannya dengan Ada dan dunianya. Ia menamakan fenomenologinya Analisa
Eksistensial atau psikoanalisis eksistensial.[6]
Pengaruh konsepsi Husserl tentang intensionalitas kesadaran pada Heidegger
dan Sartre, tampak dari pemahaman mereka mengenai aktivitas-aktivitas atau “karakter-karakter”
manusia dalam hubungannya dengan realitas dan dunianya. Meskipun Heidegger
tidak secara eksplisit menjelaskan kesadaran manusia, tetapi ia mengandaikan
begitu saja karakter kesadaran manusia dan aktivitas-aktivitasnya, sebagaimana
yang telah dideskripsikan oleh Husserl. Konsepsinya tentang “milik sendiri”,
kecemasan, ketiadaan, dan Ada dalam dunia misalnya, mengandaikan adanya
aktivitas kesadaran manusia dalam mengonstitusikan dunianya, yakni aktivitas
kesadaran yang telah dibicarakan oleh Husserl. Akan tetapi, pada Sartre
kesadaran itu dieksplisitkan. Ia, seperti yang dilakukan oleh Husserl, menelaah
struktur kesadaran dan menemukan fakta baru bahwa kesadaran pun harus dibedakan
antara kesadaran reflektif dan nonreflektif. Kemudian, konsepsi-konsepsi
Sartrean, seperti konflik, melafide, kecemasan, dan rasa muak, mengandaikan
adanya aktivitas kesadaran seperti konstitusi.
Konsepsi Husserl tentang Lebenswelt, yang menempati kedudukan sentral dalam pemikiran
filsafatnya pada periode-periode akhir hidupnya, mempunyai pengaruh yang sangat
besar dan menarik pada pemikiran Heidegger dan Sartre pada khususnya, dan pada
para eksistensialis pada umumnya. Dengan berangkat dari dunia yang dihayati (Lebenswelt),
seperti yang dianjurkan oleh Husserl, maka Heidegger dan Sartre berhasil
menguak tabir kehidupan manusia, yang selama ini terkubur dalam-dalam di bawah
permukaan teori-teori “ilmiah” tentang manusia.
C.
Fenomenologi sebagai metode ilmu.
Fenomenologi
berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya.
Fenomena di sini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara
tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan
maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang
penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena,
melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama
sekali.
Seorang fenomenolog
hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat
memahami fenomena sebagaimana adanya: “Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada
bendanya sendiri). Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin
keterkaitan manusia dengan realitas.[7]
Bagi Husserl,
realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang
mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger,
yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan
manusia”.
Filsafat fenomenologi
berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua
fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha
inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”. Untuk itu, Husserl
mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision.
Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda
keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu
fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu.
Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri
oleh presupposisi pengamat.
D.
Kontribusi fenomenolgi terhadap ilmu pengetahuan
Memperbincangkan
fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt
(“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas
konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu
sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Edmund Husserl,
dalam karyanya, The
Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi
(mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir
positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai
sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya
adalah terjadinya ‘matematisasi alam’, alam dipahami sebagai keteraturan
(angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena
para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.[8]
Dunia kehidupan
dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia
menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar
subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan
seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia
menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia
kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu
sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial.
Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi
seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ).
Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang
niscaya
.
Tujuan ilmuwan
sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan
sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia
sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia
kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan,
ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam
proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan
tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt
(dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi
kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari
sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat
ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’
yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial,
dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia
kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan
fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka
konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat
sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan
sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.
2.
Fenomenologi dalam konsep agama islam
Sebagai agama samawi
yang terakhir diturunkan, Islam merupakan penyempurna agama-agama sebelumnya. Sebagai
penyempurna, tentu saja terdapat beberapa ajaran Islam yang sebenarnya telah
ada pada agama-agama samawi lainnya. Namun demikian, di waktu bersamaan, Islam
juga meluruskan beberapa ajaran agama samawi sebelumnya yang diselewengkan oleh
para pemeluknya. Inilah kiranya yang mendorong banyak orang untuk mengkaji dan
meneliti Islam lebih dalam lagi, tak terkecuali adalah orang-orang non muslim
yang lebih dikenal sebagai orientalist.
Namun Islam sering
dipahami secara tidak objektif oleh para orientalist. Dari sini kalangan
ilmuwan, peneliti-peneliti agama telah melakukan upaya pendekatan terhadap
fenomena agama yang dianggap cukup strategis ketika sebuah ajaran agama ingin
dicari nilai-nilai kebenarannya. Tradisi-tradisi keberagamaan yang bisa jadi selama
ini hanya sebatas fenomena ritualitas pemeluknya tanpa mengetahui apa makna dan
maksud yang tersembunyi dari perintah maupun larangan Allah SWT. Maka Islam
perlu dipahami secara fenomenologis dalam menangkap pesan yang disampaikan
dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah. Fenomenologi adalah suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha
mencari hakekat dari apa yang
ada di balik segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan
manusia di bumi.
Pendekatan agama
secara fenomenologis dalam mengkaji Islam melalui pemaknaan ayat-ayat
(tanda-tanda) dari Allah terhadap obyek yang bersifat abstrak maupun hal-hal
yang bersifat konkrit . Hal ini dimaksudkan supaya Islam itu benar-benar
dipahami dan dimengerti sesuai dengan sudut pandang kebenarannya menurut
penganutnya sendiri secara hakiki.
A. Tujuan Pendekatan Fenomenologi
Tujuan dari
Fenomenologi adalah mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang
ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan
simbol keagamaan. Serta memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga
keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika,
ataupun psikologi untuk memahami islam.[9]
B. Karakteristik Pendekatan
Fenomenologi
Pendekatan fenomenologi
dalam penelitian bidang kajian islam dipahami sebagai sikap seorang peneliti
untuk menempatkan sikap empati terhadap islam dan umatnya. Subjektivitas
menjadi tantangan bagi peneliti dengan pendekatan fenomenologis. Karena seorang
peneliti harus menempatkan islam berdasarkan apa yang dipahami oleh umatnya,
bukan berdasarkan prasangka apalagi berdasarkan pemahaman peneliti yang
bersumber dari ajaran agama non-islam. Pendekatan ini melihat agama sebagai
komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi
keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul
dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit.
C.
Langkah-langkah Metode Fenomenologi
1. Mengklasifikasikan
fenomena keagamaan dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, sakramen,
tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, dan mitos. Hal ini
dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
2. Melakukan
interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti
dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang
diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
3. Melakukan “epochè”
atau menunda penilaian dengan cara pandang yang netral.
4. Mencari hubungan
struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
5. Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw
secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan “realitas” atau
manifestasi dari sebuah wahyu.[10]
D.
Contoh Pendekatan Fenomenologi
Para wali dan sunan
dalam membentuk corak kebudayaan yang lama tidak dihilangkan dengan alasan agar
masyarakat tidak terlalu kaget dengan perubahan. Dengan demikian, ajaran Islam
dapat diterima dengan mudah dan tanpa ketakutan. Unsur-unsur tradisi masih
melekat dapat dirasakan hingga sekarang, di antaranya acara tahlilan,berziarah, sekatenan,
dan grebeg mulud.
1. Tahlilan
Tahlilan adalah acara doa bersama yang diadakan di rumah keluarga orang
yang meninggal, yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga, dan
sanak-saudara orang yang meninggal. Tahlilan dimulai pada hari di mana orang
bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau
isya. Dalam pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, terutama Surat Yaasin dari ayat pertama hingga terakhir, doa-doa agar sang almarhum atau
almarhumah diampuni segala dosanya dan diterima amal-ibadahnya, serta salawat (salam)
terhadap Nabi Muhammad beserta para kekuarganya, sahabatnya, dan para
pengikutnya.
Acara tahlilan ini lazimnya diselenggarakan selama tujuh hari
berturut-turut. Setelah itu, diadakan pula tahlilan untuk memperingati 40
bahkan hingga 1.000 hari kematian almarhum/almarhumah. Peringatan 7, 40, dan
100 hari merupakan tradisi Indonesia pra-Islam, yakni budaya lokal yang telah
bersatu dengan tradisi Hindu-Buddha. Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap orang
yang meninggal dilakukan secara bertahap, yakni pada hari orang bersangkutan
meninggal, 3 hari kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun
kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian. Terlihat bahwa acara
tahlilan tak sepenuhnya ajaran murni Islam. Nabi Muhammad tak pernah mengadakan
acara tahlilan bila ada yang meninggal, melainkan hanya mendoakan agar orang
meninggal tersebut diampuni dosanya dan diterima keimanan Islamnya.
2. Ziarah
Dalam agama Islam dikenal tradisi ziarah, yakni berkunjung ke makam atau
kuburan untuk mendoakan almarhum/almarhumah agar iman Islamnya diterima oleh
Sang Pencipta dan dihapuskan segala dosa yang pernah dilakuan selama hidupnya.
Namun, pada perkembangannya di Indonesia, tradisi ziarah ini disisipi oleh
kehendak-kehendak lain yang tak ada hubungannya dalam konteks keislaman.
Tradisi berziarah Islam bercampur padu dengan tradisi pemujaan terhadap roh
nenek-moyang atau dewa-dewa Hindu-Buddha, dan hasilnya adalah sang penziarah
bukannya mendoakaan arwah yang meninggal akan tetapi memiliki tujuan lain, di
antaranya meminta kekuatan gaib kepada roh nenekmoyang atau arwah tokoh-tokoh
penting dan keramat. Tak jarang, makam para wali di Jawa banyak dikunjungi oleh
mereka yang memintai ”petunjuknya” kepada roh sang wali yang telah meninggal.
Padahal dalam pandangan Islam, orang yang sudah meninggal itu tidak memiliki
kemampuan sama sekali untuk memberikan bantuan kepada orang yang masih hidup,
seperti memberikan kekayaan, jabatan, pangkat, kekebalan tubuh, atau yang
lainnya. Maka dari itu, ada orang yang menyebut ziarah sebagai nyadran atau nyekar.
Tradisi nyekar ini merupakan peninggalan prasejarah yang paling kental dalam
tradisi Islam sekarang.
Alkisah, pada tahun 1284 Saka atau 1362 M, Raja Majapahit, Hayam Wuruk
melakukan acara srada untuk memperingati wafatnya Rajapatni. Tradisi
penghormatan terhadap roh nenek moyang terasa masih sangat kental, walaupun
sudah masuk agama Hindu-Buddha. Di saat masuknya agama Islam, upacara seperti
ini tidak hilang malah dibumbui dengan unsur-unsur Islam. Acara srada dalam
bahasa Jawa sekarang adalah nyadran dilakukan pada bulan arwah (Ruwah) atau disebut
pula Syaban untuk menjemput datangnya bulan Ramadhan serta pada hari raya
Idul-Fitri dan Idul Adha (Lebaran Haji). Para penziarah mulanya membacakan
doa-doa dan Surat Yaasin dari Al-Quran. Setelah itu mereka menaburkan bebungaan
berwarna-warni dan mengucurkan air tawar yang telah diberi bacaan/doa di atas
tanah makam yang dimaksud.
3. Sekatenan dan Grebeg Maulid
Upacara sekatenan diciptakan Sunan Bonang dalam rangka menyambut hari
Maulud Nabi Muhammad Saw. yang jatuh pada bulan Rabiul Awal tahun Hijriah.
Jadi, sekatenan merupakan bagian dari acara grebeg Maulud. Sunan Bonang, seperti Sunan Kalijaga,
menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya. Lagu gamelan wayang
berisikan pesan-pesan ajaran agama Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadatain yang kemudian dikenal dengan istilah sekaten.
Dalam tradisi sekatenan, semua pihak diharapkan keikutsertaannya, dari raja,
abdi dalem istana, pasukan kerajaan, hingga rakyat kecil. Mereka berada di
jalan guna berebutan berkah yang berupa nasi dan laukpauk berikut sayur
mayurnya untuk dinikmati.[11]
E.
Kelemahan dan Kelebihan Pendekatan
Fenomenologi
Fenomenologi sebagai metode berpikir merupakan suatu yang progresif karena
usahanya untuk mengembalikan hal-hal yang hakiki yang bersangkutan dengan
kehidupan manusia. Pemikiran Husserl telah memberi dorongan yang sangat
penting. Fenomenologi telah dibangun atas rasa tanggungjawab, bahkan pemahaman.
Kelebihan fenomenologi agama memahami dan mencari hakikat keberagamaan.
Pencarian hakikat yang merupakan unsur universal agama-agama, akan dapat
memahami kesamaan hakikat agama-agama. Pada fakta yang terjadi sekarang, dimana
dunia sudah masuk era pluralisme dan multikulturalisme, kelebihan-kelebihan
fenomenologi agama dapat membantu menciptakan sikap-sikap terbuka, toleran dan
menghargai para penganut agama yang berbeda-beda serta diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang
diamati.
Namun fenomenologi khususnya Husserl fenomenologi masih terperangkap dalam
konsep paradigma. Husserl ketika membicarakan tentang "sumber terakhir
dari segala pemahaman," ia berkata : sumber itu bernama moi-meme(saya
sendiri). Ini berarti ia melupakan pekerjaan kolektif dari pembentukan
alam objek dan sejarah. Pada konsepnya "Aku transcendental"
membuat Husserl terlampau larut ke dalam masalah kesadaran, sehingga melupakan
eksistensi yang kongkret sehingga yang diperolehnya hanya gambaran yang ideal
dan abstrak tentang manusia.
Fenomenologi menganggap kesadaran sebagai pusat kenyataan, dan menjadikan
totalitas muatan yang berasal dari imajinasi sebagai muatan realisme. Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap
subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara
subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian,
pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya
berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu
tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan
tidak dapat digeneralisasi.[12]
[2] Atang Abdul
Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum. (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), hlm. 289
[5] Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interprestasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Penj. Musnur Hery
dan Damanhuri), h. 3.
[8] Maksum dan Ali. Pengantar Filsafat;
dari Masa klasik hingga Postmodernisme.Yogyakarta . AR-RUZZ MEDIA. 2011.
0 komentar: