UNIVKITA

Monday, July 27, 2015

makalah fenomenologi



BAB II
PEMBAHASAN

Dalam abad 20 muncul banyak aliran filsafat dan banyak merupakan penerus filsafat-filsafat abad modern seperti neo-tomisme,neo-hegelianisme, neo-marxisme, neo-positivisme, dan lain-lain. Ada yang baru dengan corak yang amat berbeda seperti, Fenomenologi, Eksistensialisme, Pragmatisme, Strukturalisme dan Postmodernisme. Tokoh utama dan pendiri Fenomenologi adalah Edmund Husserl (1895-1938). Ini adalah ilmu tentang apa yang tampak atau menampakkan diri kepada kesadaran manusia. Sebelum itu (sejak Descartes) kesadaran selalu tertutup. Orang mengenal diri dan dengan itu mengenal realitas. Padahal menurut Husserl kesadaran selalu intensional yang berarti selalu terarah kepada realitas.

Eksistensialisme dan fenomenologi merupakan dua gerakan yang berhubungan sangat erat yang menentang metode dan pandangan-pandangan filsafat Barat. Istilah eksistensialisme tidak menunjuk suatu sistem filsafat secara khusus. Ada perbedaan-perbedaan besar antara para pengikut aliran ini, tetapi terdapat tema-tema yang sama pada para penganutnya sebagai ciri khas filsafat ini, antara lain:
1.      Protes terhadap rasionalisme dan idealisme Hegel (masyarakat modern)
2.      Protes terhadap konsep-konsep filsafat akademis yang jauh dari konkret (atas nama individualisme)
3.      Protes terhadap alam yang impersonal dari zaman industri modern dan teknologi dan gerakan masa.
4.      Menekankan situasi manusia dan harapan manusia di dunia.
5.      Keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.[1]


1.      Pengertian fenomenologi.

Kata fenomena berasal dari kata Yunani “fenomenon”, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi fenomena adalah suatu aliran yang membicarakan fenomenon atau segala sesuatu yang menampakkan diri.[2]
Secara harfiah, fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran. Fenomenologi merupakan sebuah aliran. Yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri kita akan merangsang alat inderawi yang kemudian diterima oleh akal ( otak ) dalam bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Penalaran inilah yang dapat membuat manusia mampu berpikir secara kritis.
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di dalamnya. Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita lihat, rasa, dengar oleh alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu pengetahuan tentang kesadaran murni yang dialami manusia.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat difahami bahwa fenomenologi berarti ilmu tentang fenomenon-fenomenon apa saja yang nampak. Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisi terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Dalam kerja penelitiannya, fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu: filsafat, sejarah, dan pada pengertian yang lebih luas. Dengan demikian “fenomenologi agama” dalam acuan yang pertama menghubungkan dirinya sebagai salah satu disiplin ilmu. Adapun acuan yang kedua memasukkan pendapat tentang sejarah agama. 
Dengan sendirinya mereka mempergunakan religi sederhana sebagai data, dan meletakkan ekspresi keagamaan dalam bentuk simbol seperti bentuk-bentuk upacara keagamaan sebagai fokus perhatiannya. Acuan ketiga adalah penerapan metode fenomenologi secara lebih luas. Metode ini biasa diterapkan dalam menelaah atau meneliti ajaran-ajaran, kegiatan-kegiatan, lembaga-lembaga, tradisi-tradisi, dan simbol-simbol keagamaan.[3]

A.  Tokoh-tokoh filsafat fenomenologi.
1.      Edmund Husserl (1859-1938)
Menurut Husserl, memahami fenomenologi sebagai suatu metode dan ajaran filsafat. Sebagai metode, Husserl membentangkan langkah-langkah yang harus diambil agar sampai pada fenomeno yang murni. Untuk melakukan itu, harus dimulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali pada kesadaran murni. Sedangkan sebagai filsafat, fenomenologi memberikan pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang ada. Dengan kata lain, fenomenologi harus dikembalikan kembali objek tersebut.
Metode fenomenologi menurut Husserl, menekankan satu hal penting yaitu, penundaan keputusan. Penundaan keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung (bracketing) untuk memahami fenomena. Pengetahuan yang kita miliki tentang fenomena itu harus kita tinggalkan atau lepaskan dulu, agar fenomena itu dapat menampakkan dirinya sendiri.
Untuk memahami filsafat Husserl ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui. Diantaranya:
1.      Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula nomena(sesuatu yang berada di balik fenomena)
2.      Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani.
3.      Kesadaran adalah sesuatu yang intensional (terbuka da terarah pada subjek
4.      Substansi adalah kongkret yang menggambarkan isi dan stuktur kenyataan dan sekaligus bisa terjangkau.
Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu harus melalui reduksi atau penyaringan yang     terdiri dari :
1.      Reduksi fenomenologi, yaitu harus menyaring pengalaman-pengalaman dengan maksud mendapat fenomena dalam wujud semurni-murninya. Dalam artian bahwa, kita harus melepaskan benda-benda itu dari pandangan agama, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan ideologi.
2.      Reduksi eidetis, yaitu dengan menyaring atau penempatan dalam tanda kurung sebagai hal yang bukan eidos atau intisari atau hakikat gejala atau fenomena.
3.      Reduksi transcendental, yaitu dalam penerapannya berdasarkan subjeknya sendiri perbuatannya dan kesadaran yang murni.
Namun, menurut para pengikut fenomenologi suatu fenomena tidak selalu harus dapat diamati dengan indera. Sebab, fenomena dapat juga dilihat atau ditilik secara ruhani tanpa melewati indera, fenomena tidak perlu suatu peristiwa. [4]
2.      Max Scheller (1874-1928)
Scheller berpendapat bahwa metode fenomenologi sama dengan cara tertentu untuk memandang realitas. Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi (pengalaman fenomenologi).
Menurutnya ada 3 fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman filsafat. Diantaranya:
1.      Fakta natural, yaitu berdasarkan pengalaman inderawi yang menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa.
2.      Fakta ilmiah, yaitu yang mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin abstrak.
3.      Fakta fenomenologis, merupakan isi intuitif yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung.
4.      Martin Heidegger (1889-1976)
Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di luar dirinya karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan atau pembicaraan.
Bagi heidegger untuk mencapai manusia utuh maka manusia harus merealisasikan segala potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikannya. Ia tetap sekuat tenaga tidak pantang menyerah dan selalu bertanggungjawab atas potensi yang  belum teraktualisasikan.
Dalam persfektif yang lain mengenai sesosok Heidegger menjadi salah satu filsafat yang fenomenal yaitu bahwa ia mengemukakan tentang konsep suasana hati (mood). Seperti yang kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Biasanya, dengan posisi kita yang sedang bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa mengenali diri kita yang sesungguhnya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak ukur untuk mengetahui hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan yang muncul seperti pencarian jati diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan apa kekurangan atau kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan kita yang selanjutnya dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang menguatkan pendapat banyak orang mengenai sesosok orang yang mampu melihat noumena dan phenoumena.[5]

1.      Maurice Merlean-ponty (1908-1961)
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar harus memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang realitas, dengan begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu :
Pertama hanya meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita, dan Kedua hanya memperhatikan segi-segi luar dari pengalaman tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial tentang sesuatu alam di atas kesadaran.
Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean-Porty menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real
B.  Pengaruh Husserl pada Martin Heidegger dan Jean Paul Sartre
Pengaruh Husserl pada Heidegger dan Sartre, tampaknya bukan hanya pada penggunaan metodenya, tetapi juga pada konsepsinya tentang struktur kesadaran (intensionalitas) dan Lebenswelt. Baik Heidegger maupun Sartre, secara terbuka mengakui pengaruh yang sangat kuat dari fenomenologi Husserl pada metode dan filsafat mereka. Namun demikian, kedua filusuf ini tidak menerima secara mentah gagasan Husserl tentang fenomenologi, karena mereka pun dengan gemilang memodifikasinya berdasarkan pada pemikiran teoretis dan kebutuhan praktis mereka. Mereka berdua mengeritik “idealisme” yang melekat pada fenomenologi Husserl dan mengembalikannya ke tujuan Husserl yang semula, yakni “kembali kepada realitas sendiri”, yang terdapat pada “objek”, bukan pada “subjek”. Dengan perkataan lain, oleh Heidegger fenomenologi dibuat “realistik” dan diarahkan bukan untuk meneliti struktur kesadaran transendental, melainkan untuk meneliti “makna Ada” melalui “adanya manusia” (Dasein). Ia menyebut fenomenologinya sebagai fenomenologi hermeneutik dan sering juga menyebutkan Analisa Eksistensial, sedangkan objek pengamatannya adalah manusia yang hidup dalam dunianya (in-der-welt-Sein). Sartre, mengikuti Heidegger, membuat fenomenologi husserl menjadi “realistik” juga, dan fenomenologinya digunakan untuk menelaah struktur kesadaran manusia dalam kaitannya dengan Ada dan dunianya. Ia menamakan fenomenologinya Analisa Eksistensial atau psikoanalisis eksistensial.[6]
Pengaruh konsepsi Husserl tentang intensionalitas kesadaran pada Heidegger dan Sartre, tampak dari pemahaman mereka mengenai aktivitas-aktivitas atau “karakter-karakter” manusia dalam hubungannya dengan realitas dan dunianya. Meskipun Heidegger tidak secara eksplisit menjelaskan kesadaran manusia, tetapi ia mengandaikan begitu saja karakter kesadaran manusia dan aktivitas-aktivitasnya, sebagaimana yang telah dideskripsikan oleh Husserl. Konsepsinya tentang “milik sendiri”, kecemasan, ketiadaan, dan Ada dalam dunia misalnya, mengandaikan adanya aktivitas kesadaran manusia dalam mengonstitusikan dunianya, yakni aktivitas kesadaran yang telah dibicarakan oleh Husserl. Akan tetapi, pada Sartre kesadaran itu dieksplisitkan. Ia, seperti yang dilakukan oleh Husserl, menelaah struktur kesadaran dan menemukan fakta baru bahwa kesadaran pun harus dibedakan antara kesadaran reflektif dan nonreflektif. Kemudian, konsepsi-konsepsi Sartrean, seperti konflik, melafide, kecemasan, dan rasa muak, mengandaikan adanya aktivitas kesadaran seperti konstitusi.
Konsepsi Husserl tentang Lebenswelt, yang menempati kedudukan sentral dalam pemikiran filsafatnya pada periode-periode akhir hidupnya, mempunyai pengaruh yang sangat besar dan menarik pada pemikiran Heidegger dan Sartre pada khususnya, dan pada para eksistensialis pada umumnya. Dengan berangkat dari dunia yang dihayati (Lebenswelt), seperti yang dianjurkan oleh Husserl, maka Heidegger dan Sartre berhasil menguak tabir kehidupan manusia, yang selama ini terkubur dalam-dalam di bawah permukaan teori-teori “ilmiah” tentang manusia.

C.  Fenomenologi sebagai metode ilmu.
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena di sini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: “Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya sendiri). Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas.[7]
Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”.
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”. Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision.
Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.
                                                                                             
D.  Kontribusi fenomenolgi terhadap ilmu pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya ‘matematisasi alam’, alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.[8]
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial,  karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya
.
Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.
2.      Fenomenologi dalam konsep agama islam
 Sebagai agama samawi yang terakhir diturunkan, Islam merupakan penyempurna agama-agama sebelumnya. Sebagai penyempurna, tentu saja terdapat beberapa ajaran Islam yang sebenarnya telah ada pada agama-agama samawi lainnya. Namun demikian, di waktu bersamaan, Islam juga meluruskan beberapa ajaran agama samawi sebelumnya yang diselewengkan oleh para pemeluknya. Inilah kiranya yang mendorong banyak orang untuk mengkaji dan meneliti Islam lebih dalam lagi, tak terkecuali adalah orang-orang non muslim yang lebih dikenal sebagai orientalist.
     Namun Islam sering dipahami secara tidak objektif oleh para orientalist. Dari sini kalangan ilmuwan, peneliti-peneliti agama telah melakukan upaya pendekatan terhadap fenomena agama yang dianggap cukup strategis ketika sebuah ajaran agama ingin dicari nilai-nilai kebenarannya. Tradisi-tradisi keberagamaan yang bisa jadi selama ini hanya sebatas fenomena ritualitas pemeluknya tanpa mengetahui apa makna dan maksud yang tersembunyi dari perintah maupun larangan Allah SWT. Maka Islam perlu dipahami secara fenomenologis dalam menangkap pesan yang disampaikan dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah. Fenomenologi  adalah suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakekat  dari apa yang ada di  balik  segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan manusia di bumi.
     Pendekatan agama secara fenomenologis dalam mengkaji Islam melalui pemaknaan ayat-ayat (tanda-tanda) dari Allah terhadap obyek yang bersifat abstrak maupun hal-hal yang bersifat konkrit . Hal ini dimaksudkan supaya Islam itu benar-benar dipahami dan dimengerti sesuai dengan sudut pandang kebenarannya menurut penganutnya sendiri secara hakiki.

A.  Tujuan Pendekatan Fenomenologi
     Tujuan dari Fenomenologi adalah mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan. Serta memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam.[9]

B.  Karakteristik Pendekatan Fenomenologi       
     Pendekatan fenomenologi dalam penelitian bidang kajian islam dipahami sebagai sikap seorang peneliti untuk menempatkan sikap empati terhadap islam dan umatnya. Subjektivitas menjadi tantangan bagi peneliti dengan pendekatan fenomenologis. Karena seorang peneliti harus menempatkan islam berdasarkan apa yang dipahami oleh umatnya, bukan berdasarkan prasangka apalagi berdasarkan pemahaman peneliti yang bersumber dari ajaran agama non-islam. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit.

C.     Langkah-langkah Metode Fenomenologi
1.    Mengklasifikasikan fenomena keagamaan dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, sakramen, tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, dan mitos. Hal ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
2.    Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
3.    Melakukan “epochè” atau menunda penilaian dengan cara pandang yang netral.
4.    Mencari hubungan struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman  tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
5.                    Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan “realitas” atau manifestasi dari sebuah wahyu.[10]
D.     Contoh Pendekatan Fenomenologi
     Para wali dan sunan dalam membentuk corak kebudayaan yang lama tidak dihilangkan dengan alasan agar masyarakat tidak terlalu kaget dengan perubahan. Dengan demikian, ajaran Islam dapat diterima dengan mudah dan tanpa ketakutan. Unsur-unsur tradisi masih melekat dapat dirasakan hingga sekarang, di antaranya acara tahlilan,berziarah, sekatenan, dan grebeg mulud.
1.      Tahlilan
Tahlilan adalah acara doa bersama yang diadakan di rumah keluarga orang yang meninggal, yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga, dan sanak-saudara orang yang meninggal. Tahlilan dimulai pada hari di mana orang bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau isya. Dalam pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, terutama Surat Yaasin dari ayat pertama hingga terakhir, doa-doa agar sang almarhum atau almarhumah diampuni segala dosanya dan diterima amal-ibadahnya, serta salawat (salam) terhadap Nabi Muhammad beserta para kekuarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya.
Acara tahlilan ini lazimnya diselenggarakan selama tujuh hari berturut-turut. Setelah itu, diadakan pula tahlilan untuk memperingati 40 bahkan hingga 1.000 hari kematian almarhum/almarhumah. Peringatan 7, 40, dan 100 hari merupakan tradisi Indonesia pra-Islam, yakni budaya lokal yang telah bersatu dengan tradisi Hindu-Buddha. Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap orang yang meninggal dilakukan secara bertahap, yakni pada hari orang bersangkutan meninggal, 3 hari kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian. Terlihat bahwa acara tahlilan tak sepenuhnya ajaran murni Islam. Nabi Muhammad tak pernah mengadakan acara tahlilan bila ada yang meninggal, melainkan hanya mendoakan agar orang meninggal tersebut diampuni dosanya dan diterima keimanan Islamnya.
2.      Ziarah
Dalam agama Islam dikenal tradisi ziarah, yakni berkunjung ke makam atau kuburan untuk mendoakan almarhum/almarhumah agar iman Islamnya diterima oleh Sang Pencipta dan dihapuskan segala dosa yang pernah dilakuan selama hidupnya. Namun, pada perkembangannya di Indonesia, tradisi ziarah ini disisipi oleh kehendak-kehendak lain yang tak ada hubungannya dalam konteks keislaman.
Tradisi berziarah Islam bercampur padu dengan tradisi pemujaan terhadap roh nenek-moyang atau dewa-dewa Hindu-Buddha, dan hasilnya adalah sang penziarah bukannya mendoakaan arwah yang meninggal akan tetapi memiliki tujuan lain, di antaranya meminta kekuatan gaib kepada roh nenekmoyang atau arwah tokoh-tokoh penting dan keramat. Tak jarang, makam para wali di Jawa banyak dikunjungi oleh mereka yang memintai ”petunjuknya” kepada roh sang wali yang telah meninggal. Padahal dalam pandangan Islam, orang yang sudah meninggal itu tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk memberikan bantuan kepada orang yang masih hidup, seperti memberikan kekayaan, jabatan, pangkat, kekebalan tubuh, atau yang lainnya. Maka dari itu, ada orang yang menyebut ziarah sebagai nyadran atau nyekar. Tradisi nyekar ini merupakan peninggalan prasejarah yang paling kental dalam tradisi Islam sekarang.
Alkisah, pada tahun 1284 Saka atau 1362 M, Raja Majapahit, Hayam Wuruk melakukan acara srada untuk memperingati wafatnya Rajapatni. Tradisi penghormatan terhadap roh nenek moyang terasa masih sangat kental, walaupun sudah masuk agama Hindu-Buddha. Di saat masuknya agama Islam, upacara seperti ini tidak hilang malah dibumbui dengan unsur-unsur Islam. Acara srada dalam bahasa Jawa sekarang adalah nyadran dilakukan pada bulan arwah (Ruwah) atau disebut pula Syaban untuk menjemput datangnya bulan Ramadhan serta pada hari raya Idul-Fitri dan Idul Adha (Lebaran Haji). Para penziarah mulanya membacakan doa-doa dan Surat Yaasin dari Al-Quran. Setelah itu mereka menaburkan bebungaan berwarna-warni dan mengucurkan air tawar yang telah diberi bacaan/doa di atas tanah makam yang dimaksud.
3.      Sekatenan dan Grebeg Maulid
Upacara sekatenan diciptakan Sunan Bonang dalam rangka menyambut hari Maulud Nabi Muhammad Saw. yang jatuh pada bulan Rabiul Awal tahun Hijriah. Jadi, sekatenan merupakan bagian dari acara grebeg Maulud. Sunan Bonang, seperti Sunan Kalijaga, menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya. Lagu gamelan wayang berisikan pesan-pesan ajaran agama Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadatain yang kemudian dikenal dengan istilah sekaten. Dalam tradisi sekatenan, semua pihak diharapkan keikutsertaannya, dari raja, abdi dalem istana, pasukan kerajaan, hingga rakyat kecil. Mereka berada di jalan guna berebutan berkah yang berupa nasi dan laukpauk berikut sayur mayurnya untuk dinikmati.[11]

E.     Kelemahan dan Kelebihan Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi sebagai metode berpikir merupakan suatu yang progresif karena usahanya untuk mengembalikan hal-hal yang hakiki yang bersangkutan dengan kehidupan manusia. Pemikiran Husserl telah memberi dorongan yang sangat penting. Fenomenologi telah dibangun atas rasa tanggungjawab, bahkan pemahaman.
Kelebihan fenomenologi agama memahami dan mencari hakikat keberagamaan. Pencarian hakikat yang merupakan unsur universal agama-agama, akan dapat memahami kesamaan hakikat agama-agama. Pada fakta yang terjadi sekarang, dimana dunia sudah masuk era pluralisme dan multikulturalisme, kelebihan-kelebihan fenomenologi agama dapat membantu menciptakan sikap-sikap terbuka, toleran dan menghargai para penganut agama yang berbeda-beda serta diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.
Namun fenomenologi khususnya Husserl fenomenologi masih terperangkap dalam konsep paradigma. Husserl ketika membicarakan tentang "sumber terakhir dari segala pemahaman," ia berkata : sumber itu bernama moi-meme(saya sendiri). Ini berarti ia melupakan pekerjaan kolektif  dari pembentukan alam objek dan sejarah. Pada konsepnya "Aku transcendental" membuat Husserl terlampau larut ke dalam masalah kesadaran, sehingga melupakan eksistensi yang kongkret sehingga yang diperolehnya hanya gambaran yang ideal dan abstrak tentang manusia.
Fenomenologi menganggap kesadaran sebagai pusat kenyataan, dan menjadikan totalitas muatan yang berasal dari imajinasi sebagai muatan realisme. Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasi.[12]


[1] Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011) h. 131-132
[2] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum. (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 289
[3] Connolly,peter. Aneke Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta:Lkis Yogyakarta.2009

[4] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 141.
[5] Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interprestasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Penj. Musnur Hery dan Damanhuri), h. 3.

[6] Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 149-150
[7] Achmadi, Asmoro. Filsafat umum. Jakarta. PT. RAJAGRAFINDO PERSA. 2010. Hal, 50
[8] Maksum dan Ali. Pengantar Filsafat; dari Masa klasik hingga  Postmodernisme.Yogyakarta . AR-RUZZ MEDIA.  2011.
[9] Ngainun,naim. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Teras, 2009.h, 40

[10] Ibid...
[11] Abdul halim mahmud,ali. Tradisi Baru Penelitian Agama. Bandung:Nuansa.2001. h, 50


[12] Connolly,peter. Aneke Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta:Lkis Yogyakarta.2009


About Shabbir Ahmad :

Lorem ipsum dolor sit amet, pericula qualisque consequat ut qui, nam tollit equidem commune eu. Vel idque gloriatur ea, cibo eripuit ex.
View All Posts By Shabbir !

0 komentar:

All Rights Reserved. 2014 Copyright PICKER

Powered By Blogger | Published By Gooyaabi Templates Designed By : BloggerMotion

Top